Thursday, September 16, 2010

EUFORIA

Oleh M. Nora Burhanuddin

Perayaan sering termaknai manunggal. Ia tak lebih dari sekedar bersenang-senang. Euforia.

Namun, apa jadinya saat agama mulai membahasnya?

Tahun 1945, tepat 17 Ramadan, 65 tahun silam, NKRI memproklamasikan kemerdekaannya. Saya tak pernah tahu yang membuat momentum ini begitu tepat. Dan sakral! Selain alinea pertama pembukaan UUD 45.

Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka...

Jelas, tiga belas hari setelahnya, karena itu, bangsa Indonesia punya alasan yang kuat merayakannya. Idul Fitri sama dengan euforia. Selebihnya? Nabi bersabda, “Siapapun yang bersedih ditinggal Ramadan, ia akan masuk surga!” Agama, di titik ini, telah menganulir euforia.

Seolah saya harus memaknai Idul Fitri selain euforia.

Di kampung saya, ibu-ibu seminggu sebelumnya telah menjadi manusia paling sibuk. Mal-mal dan pasar-pasar mendadak membludak, meski sebelumnya pun tetap berjubel. Jualan santapan dan beragam parsel tak terhitung. Baju takwa, kopiah, sarung, sajadah—atau tepatnya seragam unjuk “kemenangan” itu—mendadak laris. Timpang. Para penjual pun berubah menjadi makhluk tengik; sekejap harga membumbung tinggi, seolah tak ada nantinya kaum kere yang tak kuasa belanja. Mereka mungkin tak salah karena ambisi para pembeli yang menggila itulah yang membuat harga melambung. Itu yang Adam Smith, Bapak Ekonomi kita, ajarkan.

Setiap perayaan selalu bentuk pengorbanan.  

Saat itu terik panas begitu menyengat. Seorang komandan yang sangat berkharisma terlihat demikian serius seolah ada yang dahsyat. Malam hari sebelumnya, salah seorang sahabatnya mendengar keluh-pintanya yang menyayat-nyayat, penuh iba dan harap. “Tuhanku, jika Kau tak menangkan pertempuran ini, tak ada lagi harapan agama-Mu teragungkan!”

Esoknya, sang komandan tiba-tiba menyeringai buas. Saat itu kerongkongan kelompok kecil itu tak satupun yang tersentuh air. Lambung pun tak sedang menyimpan makanan. Hanya teriakan Allahu Akbar yang membuat mereka semakin ganas, dan menjadi-jadi. Perang Badar dahsyat bergemuruh. Mereka menang, tepat bulan Ramadan. Perang pertama, dan jelas pengorbanan yang luar biasa.

Masyarakat Arab yang secara teoritis seharusnya lebih mewarisi semangat itu nyatanya tak lebih baik. Mesir, dengan seluruh kejayaan masa lampaunya, kekayaan budaya dan situs sejarahnya, pluralitas warga dan agamanya, juga pun larut selaras mozaik keragamannya. Ramadan, banyak yang mendadak seperti malaikat—meski selepasnya seganas syeitan. Masih banyak pencolengan. Pengorbanan pun tak lebih dari angin musim; silih berganti, cepat dan begitu tegas berubah.

Saya pikir, masyarakat Mesir sedikit lebih maju dari Indonesia dalam satu hal saja: mereka tak se-lebay masyarakat saya saat berlebaran!

Mengapa ini terjadi? Saya tak tahu pasti. Yang jelas saya tahu, ustadz-ustadz di TV itu, atau artis-artis yang mendadak menjadi ustadz itu, atau ustadz-ustadz yang ngartisitu, terlalu fasih mengucap “Assalamualaikum”, “Ya akhi”, “Ya ukhti”, “Subhanallah”, “Allahu Akbar”, sehingga pemirsa tertipu. Penonton seolah sedang melihat tokoh-tokoh suci, sehingga setiap ucapannya begitu menundukkan, dan tanpa gugat. Saat artis-artis itu berpesan, “Marilah kita sambut Hari Kemenangan ini dengan suka cita karena kita telah berhasil mengalahkan hawa nafsu selama sebulan”, para pemirsa itu tersihir. Seolah mereka pun telah benar-benar mengalahkan nafsu, selama sebulan. Dan itu patut dirayakan! Sayangnya, sikap glamour artis mendadak meracuni seluruh pemirsanya. Tak terkecuali saat Idul Fitri.

Agama kita mengajarkan keseimbangan. Saat menamakan sholat Jum’at sebagai Hari Raya umat, Islam pun mengajarkan berpakaian wangi, rapi, bersih. Kuku dianjurkan dicukur, seluruh rambut dipotong rapi, mandi sangat dianjurkan—kecuali yang memang wajib. Agama kita tak mengajarkan euforia, hanya keseimbangan dalam berhari raya.  

Ini juga yang harus dilakukan saat Idul Fitri. Saya pikir, kita harus mulai menghilangkan kebiasaan buruk itu. Misalnya dengan merubah pandangan bahwa Idul Fitri adalah garis finis perjuangan. Tidak! Ini hanya fase-fase perjuangan. Dengan itu kita pun menjadi pantas merayakannya.

Namun seberapa pantaskah kita merasa Idul Fitri adalah hari kemenangan kita? Saya ingin bertutur, dan di sana jawabannya!

Ramadan tiba dan kita mulai memandang bahwa pengaturan jadwal makan sudah saatnya. Hari pertama, diawali konflik penentuannya, dari kubu hijau ataupun biru. Memasuki tarawih, kita masih berselisih: delapan atau dua puluh rakaatnya. Tarawih pun seperti kayu: lambat laun semakin keropos jamaahnya.

Tadarus hari pertama begitu mengganggu tetangga karena terlalu malam. Kita tak puas, jika tak diperdengarkan keras-keras. Itu juga semakin susut-menyusut. Puasa hanya akumulasi seberapa jam kita tidur; sahur, sholat, tidur panjang, bangun-bangun berbuka. Bantal-guling begitu akrab bulan ini.

Jika tidak, hiburan kita hanya “kotak ajaib” itu. Di depannya kita melihat beragam sinetron-sinetron cengeng, direligi-religikan. Kita tak pernah jujur bahwa daya tarik sinetron itu bukan alurnya, ceritanya, apalagi dakwahnya. Kita hanya tahu, cewek-cewek cantik yang [seolah] salihah itu sedang tampil, tersenyum, dan [pura-pura] berdakwah. Kita rindu senyum dan kerling matanya. Kita tak kuat menikmati cengkok pipi dan sensual bibirnya. Suara dan gelak tawanya memaksa kita mengikuti episode demi episodenya. Meski kita tahu dan mengakui cerita dan alurnya memang jelek. Kita tak pernah jujur bahwa itu bukan sinetron dakwah, apalagi agama. Itu hanya parade kemolekan, keperawanan, dan kebinalan.

Kita harus mulai berani jujur. Jika saja amalan Ramadan kita memang demikian busuk, tak lebih tak kurang dari gambaran di atas, paling tidak kita punya satu amalan: kejujuran. Saat itu kita mungkin sedikit boleh bereuforia di hari raya ini. Meski, jika benar-benar jujur, sebenarnya kita tak pernah pantas untuk sekedar mengatakan Idul Fitri adalah hari raya kita.

Sunday, September 5, 2010

Alam Persekolahan di Luar Cengkaman Peperiksaan, Harapan Menuju Syawal

Keputusan sama ada untuk memansuhkan atau mengekalkan peperiksaan Penilaian Menengah Rendah (PMR) dan Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR)  selepas sambutan Hari Raya Aidilfitri ini, sememangnya amat dinanti.

Apapun keputusannya, keputusan kerajaan untuk menilai semula keberkesanan UPSR dan PMR sebagai cerminan pencapaian akademik pelajar membuktikan bahawa sistem pendidikan yang berasakan peperiksaan (exam-oriented) tidak lagi mampu untuk menjadi kayu ukur pencapaian pendidikan para pelajar. 

Melalui sistem (exam-oriented) penempuan besar pendidkan para pelajar di setiap peringkat akan ditumpu kepada prestasi akademik semata. Pencapaian akademik diangkat menjadi kayu ukur mutlak bagi menentukan kualiti pelajar. Orientasi pembelajaran akan tertuju bagaimana untuki meningkatkan jumlah markah dalam subjek. Maka suasana more testing than educating akan menjadi iklim pembelajaran. Alam pendidikan tidak lagi menjadi meriah dek kerana sebaik sahaja langkahan masuk ke dalam pagar sekolah, semua unit yang berada di dalamnya hanya bergerak atas orientasi membebankan ini.

Dato' Dr. Siddiq Fadzil dalam bukunya Pendidikan Al- Hikmah dan Misi Pencerahan mengutarakan pendapat " Anggapan umum bahawa prestasi akademik adalah penentu masa depan telah menimbulkan susasana persaingan yang semakin sengit. Alam persekolahan telah menjadi sebuah gelanggang hempas pulas yang tegang, anak-anak sekolahan kelihatan sugul, muram, kelelahan, terbeban dan tertekan. Keadaan inilah yang menimbulkan pertanyaan 'Are we prepare them for succces or overloading them with stress ?' Selain dianggap penentu masa depan, prestasi akademik anak-anak juga seringkali dilihat sebagai lambang status sosial dan kebanggan orang tuanya. Untuk itu pula anak-anak sekolahan dipacu bagai lumba kuda. Akibatnya yang kalah berlumba atau yang tidak mampu berlumba bersa tidak dihargai dan tidak dikehendaki "

Demi mencapai puncak prestasi akademik, anak bangsa hanya sekadar mampu untuk menghapal maklumat dari menghadam dan mencerna segala pengetahuan yang dicurah dalam kelas darjah. Menjadikannya anak muda serba sebelah sejak dari bangku persekolahan ! Hanya mampu menjadi penyimpan data yang baik dari menjadi makhluk merencana dan pemikir yang terpuji. Lantas, keupayaan akal karunia Tuhan hanya bergerak sebatas database angka,fakta dan formula.

Seorang pelajar pada beberapa tahun lepas melahir kemualannya lewat katanya "seem interested only in churning out top scores who are incapable of thinking, reasoning and talking about subject beyond their field of study", "tremendous pressure on student to excel, but only academically."

Semua rakyat Malaysia menanti penuh harap agar Syawal yang menjelma membuka lebaran baru supaya kita dapat melihat alam pendidikan tidak dihukum melalui peperiksaan sahaja.