Oleh M. Nora Burhanuddin
Perayaan sering termaknai manunggal. Ia tak lebih dari sekedar bersenang-senang. Euforia.
Namun, apa jadinya saat agama mulai membahasnya?
Tahun 1945, tepat 17 Ramadan, 65 tahun silam, NKRI memproklamasikan kemerdekaannya. Saya tak pernah tahu yang membuat momentum ini begitu tepat. Dan sakral! Selain alinea pertama pembukaan UUD 45.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka...
Jelas, tiga belas hari setelahnya, karena itu, bangsa Indonesia punya alasan yang kuat merayakannya. Idul Fitri sama dengan euforia. Selebihnya? Nabi bersabda, “Siapapun yang bersedih ditinggal Ramadan, ia akan masuk surga!” Agama, di titik ini, telah menganulir euforia.
Seolah saya harus memaknai Idul Fitri selain euforia.
Di kampung saya, ibu-ibu seminggu sebelumnya telah menjadi manusia paling sibuk. Mal-mal dan pasar-pasar mendadak membludak, meski sebelumnya pun tetap berjubel. Jualan santapan dan beragam parsel tak terhitung. Baju takwa, kopiah, sarung, sajadah—atau tepatnya seragam unjuk “kemenangan” itu—mendadak laris. Timpang. Para penjual pun berubah menjadi makhluk tengik; sekejap harga membumbung tinggi, seolah tak ada nantinya kaum kere yang tak kuasa belanja. Mereka mungkin tak salah karena ambisi para pembeli yang menggila itulah yang membuat harga melambung. Itu yang Adam Smith, Bapak Ekonomi kita, ajarkan.
Setiap perayaan selalu bentuk pengorbanan.
Saat itu terik panas begitu menyengat. Seorang komandan yang sangat berkharisma terlihat demikian serius seolah ada yang dahsyat. Malam hari sebelumnya, salah seorang sahabatnya mendengar keluh-pintanya yang menyayat-nyayat, penuh iba dan harap. “Tuhanku, jika Kau tak menangkan pertempuran ini, tak ada lagi harapan agama-Mu teragungkan!”
Esoknya, sang komandan tiba-tiba menyeringai buas. Saat itu kerongkongan kelompok kecil itu tak satupun yang tersentuh air. Lambung pun tak sedang menyimpan makanan. Hanya teriakan Allahu Akbar yang membuat mereka semakin ganas, dan menjadi-jadi. Perang Badar dahsyat bergemuruh. Mereka menang, tepat bulan Ramadan. Perang pertama, dan jelas pengorbanan yang luar biasa.
Masyarakat Arab yang secara teoritis seharusnya lebih mewarisi semangat itu nyatanya tak lebih baik. Mesir, dengan seluruh kejayaan masa lampaunya, kekayaan budaya dan situs sejarahnya, pluralitas warga dan agamanya, juga pun larut selaras mozaik keragamannya. Ramadan, banyak yang mendadak seperti malaikat—meski selepasnya seganas syeitan. Masih banyak pencolengan. Pengorbanan pun tak lebih dari angin musim; silih berganti, cepat dan begitu tegas berubah.
Saya pikir, masyarakat Mesir sedikit lebih maju dari Indonesia dalam satu hal saja: mereka tak se-lebay masyarakat saya saat berlebaran!
Mengapa ini terjadi? Saya tak tahu pasti. Yang jelas saya tahu, ustadz-ustadz di TV itu, atau artis-artis yang mendadak menjadi ustadz itu, atau ustadz-ustadz yang ngartisitu, terlalu fasih mengucap “Assalamualaikum”, “Ya akhi”, “Ya ukhti”, “Subhanallah”, “Allahu Akbar”, sehingga pemirsa tertipu. Penonton seolah sedang melihat tokoh-tokoh suci, sehingga setiap ucapannya begitu menundukkan, dan tanpa gugat. Saat artis-artis itu berpesan, “Marilah kita sambut Hari Kemenangan ini dengan suka cita karena kita telah berhasil mengalahkan hawa nafsu selama sebulan”, para pemirsa itu tersihir. Seolah mereka pun telah benar-benar mengalahkan nafsu, selama sebulan. Dan itu patut dirayakan! Sayangnya, sikap glamour artis mendadak meracuni seluruh pemirsanya. Tak terkecuali saat Idul Fitri.
Agama kita mengajarkan keseimbangan. Saat menamakan sholat Jum’at sebagai Hari Raya umat, Islam pun mengajarkan berpakaian wangi, rapi, bersih. Kuku dianjurkan dicukur, seluruh rambut dipotong rapi, mandi sangat dianjurkan—kecuali yang memang wajib. Agama kita tak mengajarkan euforia, hanya keseimbangan dalam berhari raya.
Ini juga yang harus dilakukan saat Idul Fitri. Saya pikir, kita harus mulai menghilangkan kebiasaan buruk itu. Misalnya dengan merubah pandangan bahwa Idul Fitri adalah garis finis perjuangan. Tidak! Ini hanya fase-fase perjuangan. Dengan itu kita pun menjadi pantas merayakannya.
Namun seberapa pantaskah kita merasa Idul Fitri adalah hari kemenangan kita? Saya ingin bertutur, dan di sana jawabannya!
Ramadan tiba dan kita mulai memandang bahwa pengaturan jadwal makan sudah saatnya. Hari pertama, diawali konflik penentuannya, dari kubu hijau ataupun biru. Memasuki tarawih, kita masih berselisih: delapan atau dua puluh rakaatnya. Tarawih pun seperti kayu: lambat laun semakin keropos jamaahnya.
Tadarus hari pertama begitu mengganggu tetangga karena terlalu malam. Kita tak puas, jika tak diperdengarkan keras-keras. Itu juga semakin susut-menyusut. Puasa hanya akumulasi seberapa jam kita tidur; sahur, sholat, tidur panjang, bangun-bangun berbuka. Bantal-guling begitu akrab bulan ini.
Jika tidak, hiburan kita hanya “kotak ajaib” itu. Di depannya kita melihat beragam sinetron-sinetron cengeng, direligi-religikan. Kita tak pernah jujur bahwa daya tarik sinetron itu bukan alurnya, ceritanya, apalagi dakwahnya. Kita hanya tahu, cewek-cewek cantik yang [seolah] salihah itu sedang tampil, tersenyum, dan [pura-pura] berdakwah. Kita rindu senyum dan kerling matanya. Kita tak kuat menikmati cengkok pipi dan sensual bibirnya. Suara dan gelak tawanya memaksa kita mengikuti episode demi episodenya. Meski kita tahu dan mengakui cerita dan alurnya memang jelek. Kita tak pernah jujur bahwa itu bukan sinetron dakwah, apalagi agama. Itu hanya parade kemolekan, keperawanan, dan kebinalan.
Kita harus mulai berani jujur. Jika saja amalan Ramadan kita memang demikian busuk, tak lebih tak kurang dari gambaran di atas, paling tidak kita punya satu amalan: kejujuran. Saat itu kita mungkin sedikit boleh bereuforia di hari raya ini. Meski, jika benar-benar jujur, sebenarnya kita tak pernah pantas untuk sekedar mengatakan Idul Fitri adalah hari raya kita.
No comments:
Post a Comment