Wednesday, March 3, 2010

LIBERALISME DAN TAMADUN MELAYU: PEMBACAAN DARI PERSPEKTIF FUTURE STUDIES Bahagian 1

Prof Madya Abu Hassan Hasbullah, B.A., M.A. (Malaya) Ph.D. (Vienna)

Artikel ini diambil daripada Dialog Wacana Intelektual Dewan Bahasa dan Pustaka, 03 November 2008

Fenomena menarik dalam pergaulan dunia Abad 21 dan abad-abad masa depan adalah pencarian fungsi batas-batas fizik ekoposial (ekonomi, politik, dan sosial) dan budaya sebagai pengadiluhung tradisi dan peradaban bangsa. Penggunaan jasa saitek (sains dan teknologi) informasi, komunikasi dan transportasi, serta tekanan-tekanan perubahan kepercayaan sosio-geografi akibat meledaknya pengaruh kepercayaan liberalisasi melalui globalisasi, yang mencetuskan hegemonia kreolisasi yang terus meluas mendorong interaksi ekoposial dan budaya antar bangsa yang semakin tinggi dan semakin bebas. Pada saat yang sama, nasionalisme sebagai ideologi bangsa mengalami erosi fungsional (Aronowitz, 1973: 67).

Kemandirian tradisi adalah kekuatan utama bangsa berkembang pada saat bangsa-bangsa besar yang menaja dan mendakwah kepercayaan globalisasi melalui kempen-kempen atas nama hak asasi manusia, demokrasi dan liberalisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi melakukan hegemoni bagi kepentingan ekoposial sebagaimana jenayah kolonialisme pada masa lalu. Campur tangan, penundukan dan penjajahan ke atas bangsa lain tidak lagi hanya secara mengandalkan kekuatan militer dan peperangan fizikal dengan bunuh dan membunuh, perkosa dan memperkosa, takluk dan menakluk, tetapi ke atas nilai-nilai budaya yang lebih mematikan. Perubahan cara menguruskan kehidupan apabila berkembangnya segala macam faedah dan mahsul dan lambungan produk-produk media baru yang lebih terbuka, bebas dan mudah menjadikan kepercayaan terhadap nilai dan sistem, budaya dan warisan turun-temurun yang dimiliki secara singular telah tidak sesuai pada zaman pluralisme.

Kuasa-kuasa besar yang sememangnya tidak pernah berhenti dalam mencapai agenda penaklukan ke atas bangsa lain kerana demikian seluruh perbelanjaan baik yang ditatangkan atas nama hak asasi manusia, demokrasi dan liberalisasi, sains dan teknologi yang digerakkan dalam misi kemubalighan globalisasi, dan sekarang digandakan melalui isu terorisme (Windelband, 1980: 160), dan semuanya akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah kerja-kerja dan rencana-rencana hegemoni mereka itu sekiranya kekuatan sesuatu bangsa itu sudah dilemahkan. Kekuatan sesuatu bangsa itu adalah kekuatan yang ada pada tradisi, kemandirian dan bersatu padu di atas nih nasionalisme, di atas leluhur peradaban yang menjadikan mereka sebagai bangsa. Tanpa ideologi yang mampu menyatukan wawasan kebatinan warga, perpaduan dan keadilan, dan demokrasi sejati dan kekukuhan budaya sebagai suatu kebijakan menguruskan negara akan melemahkan bangsa dan negara, maksud kertas ini, negara kita yang dicintai Malaysia. Ini penting dalam bertindak balas atas gejala global secara cerdas, arif dan manusiawi.

Para pendiri bangsa; dari Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun ke Parameswara, Sultan Mansur Syah dan Tun Perak berserta Hang Tuah, Hang Jebat lima bersaudara, ke Dato Bahaman, Dato’ Sagor, Tok Janggut, Tok Kenali, ke Dato Onn Jaafar, Tunku Abdul Rahman, Ibrahim Yaacob, Tun Abdul Razak, … sudah berhasil membangunkan bangsa (nation building) namun bagi membangunkan perwatakan bangsa nampaknya memerlukan waktu yang lebih panjang dengan kesabaran dan konsistensi. Upaya membangunkan perwatakan bangsa tersebut nampaknya mengalami pasang surut sejalan dengan pergulatan bangsa dalam menentukan arah perjuangan dan juga arah pembangunan.

Sebagai sebuah negara baru, selepas dijajah dengan kejamnya beratus tahun, dengan segala macam musibah dan petaka jentaka menyerang yang sebagiannya meranapkan kebijakan dan kebaikan, kemurnian dan peradaban sedia ada; dan sebahagian lagi mengajar pengalaman dan membentuk perjuangan, masalah yang ditanggung oleh negara ini adalah yang bersangkut pada pengurusan politik, terutama tentang persoalan ideologi negara, sesuatu hal yang mendasar yang akan menentukan wujudnya budaya dan jati diri bangsa masa depan. Pengurusan ekoposial negara sudah berada di tangan bangsa Malaysia sendiri dan ketika inilah suatu kemungkinan ‘ya’ dan ‘tidak’ menjadi pertaruhan terutama semangat bagi membangunkan budaya dan jati diri berasaskan paripurna leluhur, tradisi, adat resam, cara hidup, kepercayaan, agama, Islam dan tamadun yang sudah mengukuh sejak asal usul bangsa bermula lagi sama ada semakin menguat atau sebaliknya.

Tetapi apa yang dilihat kepada apa yang sedang terjadi pada hari ini, dalam perjalanan menguruskan negara itu, di dalam kerja-kerja pembangunannya kelihatan kegelojohan pembangunan berorientasikan material sehingga menumbuh budaya yang tidak sehaluan, tidak secita-cita dengan semangat dan tamadun bangsa. Menguatnya proses materialisasi melalui kerja-kerja urbanisasi dan modernisasi sudah menimbulkan menguatnya proses dehumanisasi dalam berbagai bidang kehidupan sehingga terasa segala apa yang termilik dalam peradaban sedia ada dalam bangsa ini sudah tidak terpakai lagi, sudah tidak berguna lagi. Segala nilai dan aset budaya yang selama ini membentuk dan membina peradaban bangsa dianggap suatu hal yang kolot, primitif dan mengancam kepentingan pembangunan ekonomi. Lantas semua dasar, gerakan dan projek pembangunan ekonomi yang direncanakan, yang digerakkan dengan pantas dan dipaksa untuk berbuat apa sahaja sementelah mempunyai peluang bagi mengaut keuntungan dan mencipta kekayaan berganda-ganda rupanya sama sekali tidak diimbangi dengan misi dan gerakan pembangunan perwatakan bangsa (Chomsky, 1988: 23-81).

Akhirnya ini mengakibatkan berlakunya krisis budaya, yang kemudian berakhir pada lemahnya ketahanan budaya, dan bangsa terkapai-kapai dalam keliru, berpecah belah akibat daifnya pengetahuan terhadap sejarah dan tamadun, dan salah sangka terhadap budaya sendiri sehingga jati diri sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi sudah mati.

Lemahnya ketahanan budaya dan kelirunya ketahuan tentang peradaban nusa tersebut tercermin antara lain dan lemahnya kemampuan menyikapi dinamika perubahan sebagai akibat dan segala macam tuntutan zaman yang secara kental diwarnai oleh derasnya serbuan budaya global (Keniston, 1998: 6-8) melalui pendakwahan liberalisme, globalisme yang dijenterakan oleh pesatnya saitek media dan komunikasi seperti kemajuan dalam telekomunikasi dan multimedia. Namun sama sekali tidak sepatutnya dipersalahkan kemajuan saitek komunikasi dan multimedia in kerana apa yang berlaku atas sesuatu bangsa itu adalah datang dari cara bagaimana bangsa itu menguruskan budaya dan kehidupan mereka. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu, sebagai katalisator dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekali gus sebagai penapis terhadap masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata sama sekali tidak mampu berfungsi sebagaimana sepatutnya.

Tanpa adanya sikap adaptif-kritis, maka adopsi budaya negatif, antara lain: sikap konsumtif, individualis-hedonis, dekaden, akan lebih cepat prosesnya dibandingkan dengan adopsi budaya positif-produktif (Galtung, 1982: 13-32). Bangsa yang terjarak dan paramarupa budayanya adalah bangsa yang menyebabkan tamadunnya menjadi padang jarak padang tekukur. Bangsa yang keliru akhirnya akan menggunakan premis-premis pemikiran yang tidak difahami untuk diuruskan dengan budiman dan bijaksana, lalu kemarian globalisme bersama dengan ideologi liberalisme dan demokratisme total ke dalam masyarakat yang tersangat kepelbagaian bentuk dan kandungan ras, budaya dan agama seperti Malaysia akhirnya menyebabkan wujudnya masyarakat premonition.

Masyarakat yang kacau, yang keliru, akibat tafsiran-tafsiran semasa tanpa pengetahuan yang kuat dan abadi terhadap sejarah, budaya dan tamadun; lalu berkembang dalam nilai-nilai liberalisme yang dibangunkan sendiri sebagaimana dalam akal John Stuart Mill dalam tulisannya “On Liberty: The sole end for which mankind are warranted, individually or collectively, in interfering with the liberty of action of any of their number, is self-protection. That the only purpose for which power can be rightfully exercised over any member of a civilized community, against his will, is to prevent harm to others. His own good, either physical or moral, is not a sufficient warrant” (Norberto, 1990: 123-124).

Lemahnya ketahanan budaya, lunturnya kepercayaan terhadap jati diri, krisisnya keyakinan kepada warisan bangsa, hancurnya kecintaan terhadap sejarah dan peradaban bangsa ditunjukkan oleh terjadinya krisis identiti, baik di peringkat politik, atau ekonomi mahupun sosial, sebagai akibat semakin melemahnya dan semakin menghancurnya norma-norma lama dan belum terkonsolidasinya norma baru yang baik dan murni, yang telah mengakibatkan terjadinya sikap ambivalensi dan disorientasi tata nilai dan rukun hidup. Disorientasi tata nilai dan rukun hidup, ditambah dengan tumbuh subumya semangat kebebasan, sudah menyuburkan tumbuhnya pandangan yang serba boleh (permisif) (Keupp, 1999: 61-78) yang mengakibatkan menguatnya berbagai macam divergensi dalam berbagai tatanan kehidupan masyarakat, yang apabila hal tersebut berkembang secara berlebihan dan terlampau, selain akan menyukarkan upaya membumikan gerak langkah pembangunan, juga cenderung bagi menyebabkan konflik dalam berbagai tataran kehidupan.

Konflik ini semakin menjadi-jadi apabila pengaruh terhadap kepercayaan-kepercayaan yang didakwahkan sebagai liberalisme, atau yang digegerkan oleh John Locke sebagai teori-teori hak semulajadi mula meresap masuk ke segenap sanubari akal fikir dan akal rasa masyarakat, terutama kesan yang mempengaruh dan mendadah pemikiran dan perbuatan dalam kalangan para pengurus politik, yang mencaturkan perjalanan negara (Becker, 1982: 238-242).

Akhirnya kepercayaan bagi menerima agenda-agenda dalam liberalisme yang absolut seperti yang digagaskan oleh Wilhelm von Humboldt dalam bukunya The Limits of State Action (1792) sebagai cara yang konon boleh merubah dan membaikkan kedudukan rakyat yang lazimnya (Alblaster, 1984: 353), menyebut alasan untuk, dan, dan ekonomi, menyebabkan kebutaan melihat hakikat sehingga ada dasar yang sanggup membunuh sama sekali warisan suci yang dipegang oleh bangsa berzaman-zaman lamanya, seperti bahasa.

Secara umum dapat digariskan bahawa krisis budaya yang terjadi lebih disebabkan oleh sistem atau struktur yang dikembangkan belum selaras untuk tumbuhnya budaya luhur dan murni yang mampu mewujudkan kejayaan bangsa dalam era persaingan global. Sistem yang ada sudah terlanjur korup, yang antara lain disebabkan oleh rosak dan luluhnya kepercayaan terhadap warisan peradaban dalam dan dan bangsa sendiri, hatta ada yang tanpa aib memperlekehkannya. Sikap tidak peduli terhadap budaya dan peradaban sebagai nih pembentukan renstra dan sistem pengukuhan bangsa, seperti ketidakpedulian terhadap Bahasa Melayu oleh sistem pendidikan di Malaysia waktu ini adalah contoh bagaimana sebuah peradaban akan lenyap dan binasa.

Kesan langsung dari sistem yang ninabobok sebegini adalah lahirnya masyarakat yang tidak mempunyai identiti nasional dan identiti budaya yang kuat lalu wujudlah pembawa-pembawa kebangkitan baru konon bagi menentang ‘ancient regime’ yakni sistem kerajaan dan ekoposial serta budaya sedia ada melalui gerakan anti merkantilisme, feudalisme, totalititarinisme dan kolektivisme (Kontrak Sosial) dan ‘berasaskan agama’ atas fahaman liberalisasi seperti yang pernah dilaungkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon iaitu kehidupan yang diuruskan atas keinginan kebebasan setiap individu, kumpulan dan kerajaan hanyalah sebuah biro perlindungan (Karl Hermann, 1971: 372).


Sumber: Prof Emeritus Abdullah Hassan


No comments: